Jumat, 11 Juni 2010

Momentum Piala Dunia | 2010 South Afrika



Sekaranglah saatnya menonton Piala Dunia. Lupakan perbedaan agama, politik, warna kulit, ideologi, juga bahasa. Lupakan pula kesulitan hidup dan urusan-urusan domestik yang mengimpit. Mari menikmati atraksi yang menghibur dan membuat miliaran penduduk dunia tersihir: sepak bola.

Kasus video seks artis yang menggegerkan bolehlah sesekali mencuri perhatian kita. Bagaimanapun, kita cemas menyaksikan anak-anak di pelbagai daerah antre di depan warnet atau berbagi video di ponsel untuk menonton gambar yang ditabukan itu. Tapi ada waktunya kita perlu berpaling ke tayangan lain yang lebih indah dan tak kalah memeras emosi, yaitu pertandingan bola negara-negara terpilih sejagat.

Ulah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang terus mencari akal agar mendapatkan dana aspirasi, dana pembangunan desa, atau apalah namanya, juga masih tetap perlu diawasi. Namun, sebagai tontonan dan tema pembicaraan, yang mereka peragakan di Senayan jelas sama sekali tak menarik dan tak bermutu. Karena itu, mari kita alihkan saja remote control kita ke tontonan Piala Dunia di Afrika Selatan, yang jelas lebih bermutu.

Selama sebulan penuh perhatian kita akan tertuju pada pesta para bintang sepak bola dunia. Seratusan juta penonton Indonesia akan memelototi televisi di rumah, kafe, hotel, atau gardu ronda. Mereka begadang sampai belekan, bertaruh kecil-kecilan, dan esok paginya mendengkur atau menguap di meja kerja. Tak perlu heran jika para atasan akan menenggang anak buahnya terlambat masuk kerja, karena sang atasan juga terlambat kerja. Inilah pertunjukan kolosal yang menurunkan produktivitas kerja lebih dari satu miliar penduduk dunia. Kabar baiknya, semua melakukannya dengan gembira.

Bagi Afrika Selatan, perhelatan yang dibuka tadi malam itu menelan biaya yang juga kolosal: lebih dari Rp 65 triliun. Namun peristiwa olahraga raksasa ini seketika menggerakkan ekonomi Afrika Selatan, yang diperkirakan tumbuh 4 persen tahun ini. Negara itu akan meraup keuntungan bersih sepanjang turnamen sedikitnya US$ 850 juta atau sekitar Rp 8 triliun.


Bagi Indonesia, nilai keuntungan sebesar itu jelas mimpi yang menggiurkan. Tahun lalu PSSI pernah mencanangkan ambisi "Indonesia tuan rumah Piala Dunia 2022". Ambisi ini tentu tak realistis mengingat prestasi sepak bola kita bagai siput yang beradu balap dengan kuda pacuan. Langkah pemerintah menunda upaya mewujudkan ambisi itu dan memilih membenahi sepak bola kita terlebih dulu sudah sangat tepat.

Afrika Selatan telah membuktikannya dengan kerja keras. Tim mereka pernah menjadi juara Afrika pada 2006. Mereka juga telah dua kali (1998 dan 2002) masuk babak putaran final Piala Dunia. Bandingkan dengan Indonesia, yang selalu tersingkir pagi-pagi di putaran final Piala Asia. Padahal, pada 1960-an, Indonesia pernah berbicara di tingkat Asia. Empat tahun sebelumnya, tim nasional masuk Olimpiade dan menahan Uni Soviet 0-0. Sekarang, di Asia Tenggara saja, prestasi Indonesia kembang-kempis.

Maka jangan dulu berharap terlalu tinggi menjadi tuan rumah Piala Dunia. Sebaiknya kita jadikan Piala Dunia kali ini sebagai momentum untuk membenahi secara menyeluruh sepak bola di Tanah Air. Tak ada kata terlambat untuk memulai.

Sekarang saatnya bergembira: gol, gol, gol!

Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Anda dapat menggunakan beberapa tag HTML, seperti <b>, <i>, <a>
Penting: Jika anda tidak memiliki account gmail pilih Name/URL pada form ini

Links Free Traffic And BackLink

 
Copyright © JHN-SOFT Poweredby Julka Hendri